Cerpen Yanto bule
Lantak seribu
Semilir angin malam menerpa wajahku, tetes air sehabis hujan di teras rumahku begitu lembut, bau tanah basa terasa menentramkan jiwa.
Rumahku yang di diami oleh keluarga yang berjumlah tujuh jiwa, begitu nyaman padahal rumah jatah transmigrasi tahun 1983 masih berdinding papan, lantainya pun masih tanah, atapnya seng gelombang 11 dan tentu lampu yang kami gunakan sebagai penerangan rumah hanyalah lampu teplok berbahan bakar minyak tanah.
Meskipun kami hidup di transmigrasi, namun silaturahmi antar tetangga begitu kuat, bahkan di setiap malam Jumat yasinan rutin terus di gelar di rumah tetangga secara bergiliran, sehingga suasananya menjadi sangat adem dan tentram, namun yang membuat kami anak anak transmigrasi senang tentu saja jika malam hari lampu rumah sangat terang, dan kalau bukan menggunakan lampu petromax kami belum bisa membeli mesin diesel.
Bapakku hanyalah seorang pensiunan TNI dengan pangkat yang lumayan bagi pensiunan Bintara, ya pangkat bapakku hanyalah pembantu letnan dua atau lebih lazim di sebut pelda, Tapi keberadaan bapakku di desa Lantak Seribu menjadi andalan untuk menjaga lingkungan masyarakat desa dan di angkat menjadi danton linmas desa .
Dengan perawakan yang tegap, dan memiliki kumis tipis berkulit kuning Langsat menjadikan penampilan bapak mending jauh lebih berwibawa di tengah keluarga dan lingkungannya.
Desaku salah satu desa dengan jumlah penduduk yang padat, sebab satu desa terdiri dari enam dusun dan 30 RT, belum lagi dengan fasilitas umum yang di miliki menjadikan desaku satu desa yang luar biasa bahkan sempat menjadi desa teladan saat itu.
Hanya saja jalan menuju desaku belumlah di bangun dengan aspal, dan masih menggunakan batu dan tanah merah, tapi warga desaku tidak pernah menyerah, dan mampu membuktikan dengan kemajuan, Betapa tidak begitu masuk ke transmigrasi setiap KK sudah mendapatkan jatah rumah dan tanah hektaran untuk bisa di kelola.
Tiba tiba pintu rumah di ketuk dari luar, Beranjak aku segera keluar kamar dan membuka pintu rumahku, terlihat wajah teduh ibuku yang begitu penat usai berjualan makanan keliling.
Segera aku ambil barang bawaan ibu dari punggungnya, dan meletakan di amben di belakang dapur rumahku, sembari aku bawakan segelas air hangat untuk ku serahkan ibuku.
” Bapakmu kemana”
” Pulang sekolah tadi belum melihat bapak Bu”
” Apa keladang nak, sudah hampir magrib belum juga pulang kerumah”
” Entahlah Bu, tadi kata kakak bapak keluar di jemput pak dukuh “
” Ya sudah ,kamu mandi dan lekas ke mushola belajar ngaji nak”
Berkain sarung aku melangkah keluar rumah, dan mencium tangan ibuku dan ibuku memberiku bekal obor minyak dari botol orson sebagai penerang saat aku pulang dari mengaji.
Lamat lamat suara jangkrik menimpali mualam,dari luar rumah terdengar bapak tengah bercerita dengan ibuku, kenapa baru pulang semenjak siang tadi bersama pak dukuh.
” Siang tadi ada petugas dari kabupaten mau melihat lokasi jembatan desa yang hancur terseret banjir kemarin, Pak kades meminta pak dukuh agar mengajak bapak untuk kelokasi Bu”
Ya jembatan penghubung untuk keluar desaku, masih di bangun dengan menggunakan kayu log yang di lintangkan di tengah sungai rasau, dan di bangun dengan kontruksi yang masih sederhana, sehingga jika debut air sungai rasau naik sudah pasti potongnya kayu dan ranting dari hulu sungai pasti nyangkut di tiang jembatan dan membuat air mengikis tanah badan jembatan kayu desaku.
Apalagi jembatan itu merupakan salah satu akses untuk keluar ke kabupaten, dan juga bagi pedagang yang berjualan di pasar pekan di desaku, jika jembatan rusak maka sudah pasti jadi kendala untuk bisa keluar desa .
” Kemarin baru saja ada kabar pedagang sayur, hampir masuk sungai akibat lantai jembatan kayunya terbawa air, ini sudah membahayakan pengguna jalan, kalau tidak di laporkan ke pihak kabupaten”
” Semoga saja cepat di bangun ya pak”
Pagi berlalu, obrolan bapak dak ibuku menjadi pemikiran di kepalaku, jika saja jalan menuju desaku sudah baik, jembatan sudah di bangun dan listrik masuk desa tentu desaku makin ramai saja.
” Aku yakin suatu saat desaku bakal maju”
Pagi menjelang, Ibuku membangunkan dengan suara yang lembut, di bukanya kelambu kamarku dan merapikan selimut kain panjang pemberian Simbok.
” Lekas bangun nak, kakakmu sudah siap untuk kesekolah, baju dan bukumu sudah ibu siapkan”
” Tumben kakak sudah bangun Bu, baiklah aku mandi dulu di sumur belakang rumah Bu”
Usai memakai seragam putih biru, ku siapkan sepatu hitam dan tas berisi buku pelajaran, tak lupa membersihkan lubang hidungku dari kotoran sisa asap bekas lampu teplok yang ku pasang di kamarku, kain penutup jendela aku buka sembari membuka jendelaku dengan ku ganjal kayu agar sinar mentari bisa masuk menerobos kamarku.
Siang menjelang, Pk dukuh kerumahku dan di sambut bapak dengan wajah ramahnya, Sembari duduk di kursi kayu buatan paman Slamet kursi jenis kayu trembesi di duduki pak dukuh.
” Ada kabar baiknya pak danton, bulan ini orang kabupaten akan membangun jembatan rasau di desa kita, dan kabarnya mengunakan tiang paku bumi dan juga bahan cor pra cetak, sehingga pemasangan lebih cepat dan berbiaya murah”
” Alhamdulillah semoga saja lekas bisa di bangun, agar jembatan yang menjadi penghubung satu satunya bisa aman pak dulu”
” Iya, Pak kades juga sedang mengupayakan agar jaringan listrik juga bisa segera masuk ke desa kita, makanya warga dan aparat desa harus saling mendukung “
Azan asar berkumandang di mushola dusunku, Buru buru pak dukuh pamit kepada bapak, sambil membawa berkas yang di masukan tas ,pak dukuh mengayuh sepeda onthel hingga hilang dari pandanganku .
Bertahun sudah desaku menjelma jadi desa yang makin maju dan ramai, jalan desa sebagian sudah tersentuh pembangunan, begitu juga dengan jembatannya, listrik pun sudah rata menerangi di setiap rumah rumah warga desaku, Ya desa lantak seribu desa kecil yang dulu menjadi tempat bermain, belajar dan tenpatku di didik keras oleh ayahku kini berkembang.
Tak terasa air mata ini mengingat di sudut mataku, Aku msih saja terakhir di dua batu nisan milik ayah dan ibuku yang di makamkan berdampingan di lokasi makam umum desaku, terbayang jelas betapa perjuangan mereka bukan hanya membesarkan ku dan keluargaku, namun jasa ibu bapakku masih di bincangkan warga.
Aroma bunga mawar dan irisan daun pandan, yang di buatkan istriku perlahan ku taburkan di atas pusara ibu bapakku, doaku sepenuh harap agar keduanya di tempatkan bersama ke kasih Allah, Aku tergugu sembari memegang erat bendera merah putih berbahan plat besi, penanda bahwa bapakku juga adalah seorang pensiunan TNI dan pejuang penerima bintang sakti.
Pamenang 27 Januari 2024
+ There are no comments
Add yours