Oleh : Wiko Antoni
A. Pendahuluan
Novel “Cahaya di Bukit 12” karya Yanto Bule mengangkat kisah perjuangan Maratap, anak Temenggung Suku Anak Dalam (SAD) di Jambi, yang bercita-cita menjadi anggota TNI setelah bersahabat dengan Kopka Thamrin, seorang guru TNI yang diperbantukan untuk mengajar komunitas SAD. Cerita ini memotret pergulatan Maratap menghadapi berbagai rintangan, baik dari keluarga, ayahnya sendiri, maupun tantangan sosial, sebelum akhirnya cita-citanya tercapai dengan dukungan Kopka Thamrin dan perhatian dari Dandim serta Kodam II Sriwijaya
Analisis ini menggunakan dua pendekatan teori sastra: (1) pendekatan Totem-Tabu (Sigmund Freud) untuk menelusuri simbol larangan dan mitos yang mempengaruhi konflik tokoh, serta (2) pendekatan Strukturalisme Genetik (Lucien Goldmann) untuk melihat keterkaitan karya dengan realitas sosial dan pandangan dunia yang diwakilinya.
B. Pembahasan
- Situasi Pembangun Konflik
Pada novel ini digambarkan keinginan Maratap untuk mengikuti jejak guru nya Kopka Thamrin mendapat tantangan yang biasa. Selain tantangan situasi ekonomi ada pula tantangan dari lingkungan yang melarang suku anak dalam merubah kebiasaan marginal mereka berdiam di hutan.
Kebiasaan yang telah mereka lakukan seolah adalah sebuah aturan ketat yang tak boleh dilanggar. Apalagi ayah Maratap adalah seorang temenggung yang disegani di daerah mereka.
Konflik ini terus menanjak hingga akhirnya Maratap merasakan dirinya teralinasi dan merasa sedih.
Namun dengan keteguhan Kopka Thamrin memberikan bimbingan dan dukungan akhirnya masa- masa sulit tersebut dapat ditempuh dengan segala suka dukanya termasuk datangnya bantuan dari Dandim dan Kodam II Bukit Barisan.
- Pendekatan Analisis Totem dan Tabu
Dalam kerangka Freud, totem merujuk pada simbol leluhur atau kekuatan adikodrati yang dihormati, sementara tabu merujuk pada larangan sosial-budaya yang mengikat individu. Dalam novel ini, beberapa unsur totem dan tabu dapat dianalisis: - Totem: Bukit 12 dan garis keturunan Temenggung
- Bukit 12 bukan hanya latar geografis, tetapi simbol warisan leluhur yang dianggap sakral oleh Suku Anak Dalam. Maratap sebagai anak Temenggung membawa beban simbolik untuk menjaga adat, yang secara psikologis menjadi totem—ikatan spiritual dengan leluhur dan hutan.
- Tabu: Keinginan keluar dari tradisi dan menjadi TNI
- Cita-cita Maratap menjadi TNI menabrak norma keluarga dan adat, terutama larangan ayahnya yang mewakili otoritas adat. Penolakan ini memicu konflik psikologis: rasa bersalah meninggalkan adat (takut pada kutukan, kehilangan identitas) versus hasrat pribadi untuk maju.
- Konflik Psikoanalitis (Eros-Thanatos)
- Hasrat (Eros) Maratap untuk menjadi TNI dipicu kekaguman dan kasih pada sosok Thamrin. Namun, Thanatos (ketakutan pada kematian atau hukuman sosial dan spiritual) menghantui ketika ia melawan tabu adat dan restu ayah.
- Bule menggambarkan konflik ini melalui tekanan batin Maratap: antara rasa cinta pada gurunya sebagai inspirasi dan rasa bersalah pada keluarganya.
- Penyelesaian Konflik Totem-Tabu
- Maratap akhirnya menemukan jalan tengah: perjuangan dan restu simbolik dari otoritas yang lebih besar (Dandim, Kodam) menjadi pengganti “restu leluhur”, sehingga ia bisa keluar dari tabu tanpa sepenuhnya mengkhianati identitasnya.
- Pendekatan Strukturalisme Genetik
Menurut Lucien Goldmann, karya sastra adalah ekspresi pandangan dunia kolektif dari kelompok sosial tertentu. Novel “Cahaya di Bukit 12” memuat beberapa refleksi sosial sebagai berikut: - Pandangan Dunia Komunitas Terpinggirkan
- Novel merepresentasikan dilema Suku Anak Dalam di era modern: antara mempertahankan adat dan beradaptasi dengan perubahan sosial. Pandangan dunia yang muncul adalah keinginan untuk eksis tanpa kehilangan identitas, tetapi juga tidak tertinggal dalam arus kemajuan.
- Tokoh dan Struktur Sosial
- Maratap mewakili generasi muda SAD yang mendambakan perubahan.
- Temenggung (ayah) melambangkan konservatisme dan kekhawatiran akan hilangnya jati diri adat.
- Kopka Thamrin menjadi jembatan budaya: ia hadir sebagai figur penggerak transformasi, memadukan nilai nasionalisme (TNI) dengan pengabdian pada komunitas adat.
- Hubungan Penulis dengan Realitas Sosial
- Yanto Bule sebagai penulis lokal Jambi menyalurkan kegelisahan masyarakat terhadap marginalisasi komunitas SAD sekaligus memberi harapan: integrasi melalui pendidikan dan militer sebagai bentuk mobilitas sosial.
- Makna Kolektif Novel
- Novel ini tidak hanya kisah perjuangan individu, tetapi juga refleksi aspirasi kolektif SAD: mencari posisi setara di tengah bangsa tanpa kehilangan akar budaya. Dalam kerangka Goldmann, ini adalah “world vision” komunitas marginal yang sedang bertransisi.
C. Kesimpulan
Melalui pendekatan Totem-Tabu, konflik Maratap terlihat sebagai pertarungan psikologis antara hasrat pribadi dan larangan adat, dengan Bukit 12 dan garis Temenggung sebagai simbol spiritual (totem) serta larangan ayah sebagai tabu. Penyelesaian konflik menunjukkan jalan tengah di mana restu otoritas militer menggantikan restu adat.
Sementara itu, dengan Strukturalisme Genetik, novel “Cahaya di Bukit 12” dipahami sebagai refleksi pandangan dunia komunitas Suku Anak Dalam yang mencari integrasi dalam arus nasionalisme tanpa kehilangan identitas budaya. Tokoh-tokoh dalam novel merepresentasikan ketegangan dan harapan kolektif, menjadikan karya ini lebih dari sekadar cerita individu, tetapi suara sosial-budaya masyarakat Bukit 12.
Bahan Bacaan
Freud, S. (1950). Totem and Taboo. London: Routledge and Kegan Paul.
Goldmann, L. (1981). Method in the Sociology of Literature. Oxford: Basil Blackwell.
Damono, S. D. (2014). Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Bahasa.
Ratna, N. K. (2013). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tentang Penulis
Nama Lengkap: Wiko Antoni
Tempat, Tanggal Lahir: Rantaupanjang (Kab. Merangin), 4 April 1978
Domisili Saat Ini: Desa Rantau Suli Jangkat Timur
Email: wikoantoni@gmail.com
Telepon/WhatsApp: +85263324119
Akun Publik:
YouTube: @sastrairama
You Tube @bisikpujangga
Yoy Tube @melayurock
Academia.edu: Wiko Antoni
Instagram: @wikoantoni
Facebook: wiko.antoni
Pendidikan
S2 Pendidikan Seni Budaya, Universitas Negeri Padang (UNP)
S1 Seni Teater, STSI Padang Panjang (sekarang ISI Padang Panjang)
Aktifitas
Aktif sebagai profesional kreatif dalam komunitas teater serta pendidikan sastra dan seni
Pengajaran sastra, drama, dan teater Dosen di Program Studi PBSI & PGSD, Universitas Merangin
Penyutradaraan dan penulisan skenario drama dan Film Independen
Pengembangan video edukatif dan puisi sinematik
Kritik sastra budaya
Penciptaan media pembelajaran berbasis YouTube dan AI
Pendiri & Ketua Komunitas Teater Kuflet Bangko
Anggota aktif Komunitas Sastra IMAJI dan Sanggar Batin Penghulu Bangko
Kontributor buku Catatan Perang Seniman Aceh (2009)
Kontributor Utama buku Biografi Yesy Elfisa (2025.)
Kontributor buku Autobiografi Sulaiman Djend (2023)
Penulis Antologi Drama Dendang Negeri Hulu (2010)
Penulis buku “Menciptakan Drama Moderen yang Memikat (2010)
Penulis antologi puisi mini “Harimau Tabir” 2010
Kontributor Ensiklopedi Penulis Indonesia (Kompasiana, Potret Online)
Pendiri UKM pers mahasiswa ISI Padang Panjang (Laga‑Laga / Pituluik) ISI Padangpanjang
Menulis dan menyutradarai beberapa film pendek pada kanal YouTube:
Melati Dusun Tuo
BPZM – Cadar Cinta
Mengejar Mimpi di Lembah Mantenang
Kumpulan Puisi dan Musik AI
Konten kreator di kanal @sastrairama