Mochamad Syuaib
Mungkin terlalu menikmati penampilan para penyair yang memukau, membuat pergerakan jarum jam terasa begitu cepat, menunjukkan angka 21.30 penanda berakhirnya acara PANGGUNG PENYAIR NUSANTARA II.
Aku bersama Mas Yanto Bule( penyair muda yang multi talenta dari Merangin) bergegas keluar dari ruangan Teater Kecil. Setiba di lobby kami bertegur sapa dengan beberapa penyair senior ada LK Ara, Jose Rizal Manua, Imam Ma’arif, Anwar Putra Bayu, Maman S Mahayana dan yang gak ketinggalan Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri.
Sepeminuman kopi kemudian halaqoh penyair itu pun bubar, masing-masing kembali ke penginapan.
Aku dan Mas Yanto Bule malam itu beruntung karena berkesempatan membersamai Sang Presiden ke Penginapan.
Di usianya yang sudah senja,Tapi masih memiliki semangat yang luar biasa,Dengan tampilan mengunakan topi berkacamata,dan bermasker,Langkahnya masih saja lincah.
Dari TIM ke hotel Alia di Cikini memang tidak lah lama,Hanya butuh beberapa menit saja untuk sampai di penginapan, Tak perlu waktu lama kami bertiga sudah sampai di hotel Alia Cikini, Dengan mengunakan lif kami menuju lantai enam hotel Alia cikini,dimana kamar presiden penyair Indonesia menginap.
waktu bagi kami sangatlah berharga, Di kamar dua bed, Kami mendiskusikan dan Kami gunakan untuk belajar langsung seputar puisi dengan presiden penyair Indonesia.
Di PPN XIII kali aku sengaja menyiapkan beberapa pertanyaan yang tak sempat kutanyakan kepadanya, di BWCF Muara Jambi 2024 yang lalu.Dan setiap kali bertemu bertemu kekagumanku kian menebal. Kesederhanaan, keramahan dan dedikasi paripurnanya terhadap sastra luar biasa. Di usia 85 tahun vokalnya masih menggelar saat membacakan Mantra, Tanah Air Mata dan lainnya. Dan malam itu juga aku tahu bahwa usia beliau sudah 85 tahun, selama ini informasi yang beredar 82 tahun. Ketidakcocokan data tersebut bermula ketika Instansi Dukcapil salah angka dalam mencantumkan tahun kelahiran, begitu keterangan yang aku peroleh darinya.
” Ada salah penulisan dalam biodata saya,Tapi tak apalah itu”ujar Tarzi Calsum Bahri.
Bukan hanya diskusi saja, Sahabat Yanto bule juga sempat membacakan satu puisi milik Tarzi Calsum Bahri berjudul mantera, Gaya baca Yanto bule mengkombinasikan mantera dari batu tulis prasasti karang birahi, Mendapatkan apresiasi Tarzi Calsum Bahri.
” Ini memiliki kelebihan karena suaramu bagus, Teruslah membaca dengan banyak membaca karya orang lain” ujarnya.
Malam itu aku banyak belajar dari Sang Presiden tentang menghidupkan kata, memberikan roh pada puisi, menemukan jati diri(karakter) puisi, cara sederhana menulis puisi yang nyastra, proses kreatif dan lainnya. Karena Sastra khususnya puisi adalah sesuatu yang selalu membuatku tertarik sehingga apapun yang di sampaikan tak satu kata pun yang luput dari pendengaranku. Dan untuk lebih memudahkanku memahami materi Ngaji Sastra malam itu, semua penjabaran aku rekam. Dari pemaparan beliau tentang topik-topik tadi semua bermuara pada petuahnya .
” teruslah berlatih menulis, karena hidup ini adalah latihan.”ucapnya.
Di tengah kekhusyukan persiden penyair Indonesia memaparkan materi Ngaji Sastra, tetibanya telpon. Mengingatkan ayahandanya untuk segera istirahat karena sudah larut. Ternyata jam di layar gawaiku telah menunjukkan angka 23, 49. Segera kukirimkan kode ke Mas Yanto Bule untuk segera pamit pulang ke Gren Allia.
Kami pun undur diri, Meninggalkan Presiden penyair Indonesia yang karyanya aku kenal semenjak masih di bangku sekolah.
“Sejak malam ini kita halal untuk memproklamirkan sebagai murid Presiden Penyair Indonesia,” ujar Mas Yanto Bule. “Betul, betul, betul” timpalku.
“Ha, ha, ha,” tawa kami pun menguar di dinding gedung-gedung tinggi sepanjang jalan Cikini II.
#Safari puisi.
Republik NGOTA Poris Plawad Tangerang, 15 September 2025