Cerpen Yanto bule
Mentari baru saja beranjak dari peraduannya, sisa embun semalam juga masih bersisa di ujung ujung daun jambu di belakang rumah.
Suara minyak panas di penggorengan terdengar sampai ke ruang tamu , Sepertinya ibu tengah menggoreng ubi kayu, yang di cabut ayah di kebun belakang kemarin sore.
Di meja makan, Tersaji teh hangat ayah yang di buatkan ibu di cangkir seng bermotif bunga jatah dari pemerintah,saat ikut transmigrasi ke daerah Sumatra.
Pagi itu, ayah baru pulang dari sawah yang baru saja di tanami padi jenis sanghyang Sri, Varites terbaik sebab tiga sampai empat bulan sudah bisa di panen, Dengan baju kotor yang sebagian di basuh dengan air, ayah pulang kerumah untuk minum teh hangat dan menyantap ubi gorengan ibu.
Ya, lazimnya warga transmigran di desa lantak seribu, dengan pemberian jatah tanah lokasi seluas seperempat hektare, ada sawah , lokasi ladang dua hektare tentu menjadi sangat cukup untuk di garap dan di tanami palawija.
” Aku pamit berangkat sekolah ya Bu”
” Jangan lupa sarapan dulu Yan”
” Ya Bu, tadi sudah sarapan ubi goreng yang ibu buat,hari ini aku pulang sekolah agak cepat bu”
” Kenapa cepat pulangnya nak,apa tidak ada pelajaran di kelasmu”
” Kemarin di umumkan wali kelas pak Heri,jika nanti hanya satu pelajaran saja, sebab ada rapat guru di kabupaten bu’
” Ya sudah, hati hati di jalan ya “
Aku anak lelaki pertama di keluargaku yang di namai Bukan, bergegas berangkat ke sekolah, dengan menjinjing tas dari kantong plastik,yang di kasih tali rapia berisi beberapa lembar buku dan pena,aku melangkah menuju sekolahku yang tak begitu jauh dari rumahku.
Di pertengahan jalan, Aku lihat ada sahabat ku Udin berjalan dengan bertelanjang kaki, sambil membawa buku di sebelah kirinya.
” Din ,hari ini kita pulang cepat ya”
” Iya, kan ada rapat guru di kabupaten,jadi nanti banyak waktu kita untuk bermain “
” Bekas rawa di belakang sekolah kita kan banyak ikannya Din, nanti pulang sekolah kita cari ikan ya”
Tak terasa perjalanan menuju sekolah begitu cepat sampai, di gerbang sekolah aku lihat ada pak Suroso guru olah raga di sekolahku SDN 433 ,berdiri menyambut murid yang masuk gerbang sekolah, dengan rasa takzim Aku cium tangan pak guru olahraga yang di kenal keras.
” Hari ini cuma satu pelajaran saja,nanti kalau ada lonceng panjang berbunyi,itu tandanya pelajaran selesai dan anak anak boleh bubar dari kelas ya nak”
” Iya pak terima kasih,hari ini kami cuma belajar agama pak guru Idris yang ngajar pak”
Tepat pukul 10.00 wib,lonceng panjang di pukul oleh pak Wid penjaga sekolah kami, riang gembira rasanya kami, berlarian kami keluar kelas dan langsung pulang kerumah, aku dan Udin pulang jalan kaki menuju rumah,untuk kembali ke sekolah mencari ikan di belakang kelas dekat kebun sekolah.
Suasana sekolahku terdiri dari enam kelas, dua ruang guru dan kepala sekolah, tetapi peralatan praktek seperti boneka manusia,dan organ manusia cukup lengkap,bahkan mikroskop saja ada di sekolahku, selain itu alat musik keroncong di sekolah juga sangat lengkap,apalagi pak Y Sudiman kepala sekolahnya sangat pintar bermain musik keroncong,bahkan setiap kali ada acara sekolah pasti musik keroncong pasti di tampilkan.
Begitu juga dengan lokasi sekolah kami,yang berdekatan dengan masjid Baiturrahman yang di bangun oleh pemerintah,untuk ibadah warga transmigrasi,dekat dengan lapangan bola,yang di pakai setiap sore oleh pemuda desa kami.
Tapi yang menarik di belakang sekolahku ada kebun ubi,bersebalahan dengan rawa rawa dangkal tetapi banyak kayu besar yang lapuk,sehingga menjadi sarang bagi ikan gabus,lele dan ikan sepat , Aktifitas mencari ikan menjadi kegiatan yang mengasyikan bersama Udin sahabat ku,terkadang saking asiknya mencari ikan di belakang sekolah, Pernah sekali waktu ayah datang sambil membawa sebatang kayu agar aku cepat pulang.
” Ibu, aku langsung mandi di mata air di dekat sawah ya”
Tubuh kotor penuh lumpur, langsung pulang,ibu yang melihatku sedikit manyun, sebab baju kotor pasti sudah untuk di cuci, aku berlari kecil sambil membawa ember kecil berisi sabun batangan,pasti gigi dan sikat gigi.
Mata air di dekat sawah, di buatkan cekungan oleh ayah,sehingga air jernih tidak meluber kemana mana, bahkan di jadikan pemandian umum bagi tetangga sekitarku, sebab sumur yang ada cuma satu buah sumur untuk dua kepala keluarga,sehingga terpaksa bergantian mempergunakan, adanya mata air di sawah ayah malah jadi pilihan warga sekitar rumahku untuk sekedar membersihkan tubuh.
Senja mengintip dari balik awan, kepala kelelawar mulai terdengar,apalagi sudah musim buah buahan , di belakang rumah buah rambutan dan durian mulai masak, terkadang bukan hanya kelelawar saja yang tiap malam memakan buah buahan,namun siang hari tupai juga tak mau ketinggalan menikmati buah buahan.
” Yan, habis ngaji nanti temani ayah ke rumah pak haji hanan ya”
” Iya pak, malam ini kayaknya pak ustad Jono juga akan memimpin doa di RT Sukadi”
” Nanti biar ibumu di rumah sama adikmu saja, kasihan kalau di ajak,di luar rumah masih sangat gelap “
Suasana desaku memang masih sangat asri, belum ada listrik , untuk informasi yang bisa di nikmati hanyalah lewat siaran radio, dan kalaupun ada TV hitam putih yang punya batu pak lurah, untuk kendaraan belum ada yang memiliki roda empat,tapi lebih banyak warga memiliki sepeda angin,soal motor sudah pasti hanya keluarga yang mampu yang punya.
Meskipun masih hidup sebagai warga transmigrasi serba kekurangan, Namun jiwa sosial dan gotong royong sangatlah kuat, Sudah pasti setiap hari Jumat warga bergotong royong memberikan lingkungan, suasana bersih dan asri jauh lebih terasa.
Cahaya senter di tanganku menyoroti jalanan berbatu, sepeda angin yang di kendarai ayah sesekali berguncang hebat, batu batu jalan kadang menghalangi laju sepeda ayah yang memboncengkanku.
” Sebentar lagi kita sampai di rumah haji hanan , Yan”
” Iya pak, jauh juga ya dari rumah kita”
Tibalah di rumah haji hanan, Bagunannya masih mengunakan kayu saya dengan rumah jatah transmigrasi dari pemerintah, hanya saja milik haji hanan sudah setengah permanen, penerangan rumahnya juga sudah mengunakan lampu petromax, berbeda dengan di rumahku jika mau menikmati terang lampu harus menunggu malam Jumat, sebab malam Jumat sudah pasti untuk kegiatan yasinan di rumah.
Lantai rumah haji hanan, Sudah di plaster licin, ada kursi bambu di ruang tamu di susun rapi.
” Mari masuk ke rumah Ib, Aku menunggumu untuk menawarkan pekerjaan kepadamu”
” Saya kira ada masalah apa pak ji, soalnya akhir akhir ini banyak di sawah, maklumlah baru di tanami jika tidak nanti siput sawah bisa menghabiskan batang padi”
” Aku minta tolong untuk menjaga kebun durian, Sebab pohon durian di kebunku berbuah lebat, selama musim buah ini kami jaga y Ib, Aku percaya sebab kamu bukan petani biasa “
” Tidak apa apa pak ji, untuk seminggu kedepan saya bisa menjaga kebun durian, apa buahnya sudah ada yang membeli pak ji”
” Sudah di pesan orang kota, yang bakal datang setiap hari untuk ambil buah duriannya “
Tak terasa rasa ngantukku menyerang, Aku menguap , bergegas ayah pamit pulang.
Pak haji hanan yang melihatku ngantuk, menghampiriku, mengusap kepalaku dan merogoh kantongnya sembari memberikan uang kertas seribu rupiah bergambar pahlawan, betapa senangnya aku atas pemberian pak haji hanan, bisa untuk jajan sepuluh hari .
Hari berlalu, Tono adiku sudah waktunya masuk sekolah, apalagi minggu depan akan ada pemutaran filem dari dinas penerangan di lapangan desa, semenjak sore mobil penerangan berkeliling memberitahu bahwa nanti malam ada pemutaran film di lapangan.
Kabar itu selalu aku nantikan, Sebab malam itu pasti bakal ramai di lapangan, nenekku yang guru ngaji pasti akan ikut, sebab banyak pedagang dadakan yang berjualan di sana, apalagi nenekku sangat hobi makan pecel tahu sudah pasti bakal mengajakku makan kesukaan nenekku.
Riuh manusia berkumpul di lapangan desaku, malam itu sangatlah luar biasa,filem perjuangan yang di putar sangat berkesan, rasa patriotisme muncul di dadaku, untuk bisa hidup lebih baik dan memajukan desaku.
Tiba tiba ,pundakku di sentuh oleh tangan istriku Atik,Perempuan yang aku nikahi dengan segala kekuranganku, Senyumnya yang manis sekali.
” Kamu memikirkan apa yah, Kita sudah dari tadi selesai berkirim doa di makam ayah dan ibu, aku lihat ayah termenung larut dalam pikiranmu makannya aku hanya diam saja, ayo kita pulang hari sudah sore,anak anak di rumah sendirian”
Aku bangkit dari sisi makam ayah dan ibu, tak sadar air mata ini menetes mengingat semua perjalanan keluargaku dulu di transmigrasi, aku hanyalah lelaki yah merasa menjadi anak kecil jika berada di depan ayah ibuku,tapi kini hanyalah pusara ayah dan ibu yang ku jumpai tak lagi ku temukan sentuhan tangan mereka di kepalaku.
Tuhan, hadirkan keduanya di miliki walau sesaat.
Sanggar imaji pamenang,13 Desember 2024